tyo f.h,maya

Berkenaan dengan soal kepemimpinan bisa diutarakan antara lain surah Al-Baqarah ayat 30; Al-An’am ayat 165, Shad ayat 26; An-Nisa ayat 59, juga Ali Imran ayat 28. Islam lebih banyak menyoroti masalah sumber daya manusianya. dan mengenai manajemen sumber daya manusia ini Ab. Aziz Yusof (2005) membagi kepada hard dimension of human resources dan soft
dimension of human resources. Islam lebih memperhatikan aspek soft dimension (spesifik orientasi, motivasi, value dan sikap) yang sangat berharga bagi seorang manajer menjalankan kepemimpinannya. Banyak sekali ayat atau hadis yang berbicara mengenai aspek ini. Terdapat beberapa azas bangunan kepemimpinan:

1. Power sesuai dengan yang diberikan oleh pemberi kekuasaan. Dalam pandangan filsafat Islam, bahwa di atas rakyat dan presiden itu masih ada lagi yang maha memiliki power ialah Tuhan, oleh sebab itu baik rakyat maupun presiden harus merasakan bahwa mereka juga memiliki power sebagai pemberian dari Tuhan, itulah yang disebut dengan amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada pemberi. Jadi setiap manager mesti memiliki dua amanah yakni amanah dari organisasi/lembaga sekaligus amanah dari Tuhannya. Kesadaran spiritualitas ini memberikan corak kepemimpinan yang sangat berketuhanan dan manusiawi, dia akan membawa organisasinya ke arah visi ketuhanan dan kemanusiaan, bukan ke arah keserakahan.

2. Selain power adalah wewenang (authority). Kewenangan adalah batasan gerak seorang manager sesuai dengan apa yang telah diberikan oleh pemberinya. Dalam pandangan Islam, wewenang juga dua lapis, yakni wewenang yang diperoleh sejalan dengan ruang lingkup tingkatan tugas dan tanggung jawab manajer, serta wewenang yang diberikan oleh Tuhan sebagai khalifah-Nya, yakni memiliki kewenangan atas bumi dan segala isinya, dengan tugas memakmurkan bumi ini. Kesadaran spiritual adanya kewenangan yang berlapis ini akan menumbuhkan pertanggung jawaban atas jalannya wewenang yang diterimanya, bahkan akan mempertanggung jawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa kelak. Bilamana seorang pemimpin sudah memiliki power, wewenang dan amanah, maka dia akan memiliki wibawa atau pengaruh. Menurut Daniel Katz and Robert L Kahn, esensi dari kepemimpinan organisasi adalah penambahan pengaruh di samping kerelaan mekanik melalui arahan yang rutin dari organisasi (Hoy and Miskel, 1991:252).

3. Iman yang akan membalut power, authority dan amanah tersebut sehingga kepemimpinan akan dibangun atas dasar bangunan yang komprehensip, kuat dan berorientasi jauh ke depan tidak sekedar melihat manajemen hanya diorientasikan kepada masalah mondial/duniawi semata. Seorang pemimpin yang kuat imannya, dia memahami bahwa kemampuan memimpin yang dia miliki adalah pemberian Tuhannya. Dia menyadari punya kekurangan, dan di saat itu dia juga mudah bertawakkal kepada Tuhannya. Sehingga keberhasilan dan kegagalan baginya akan memiliki makna yang sama, karena keduanya diyakini sebagai anugerah sekaligus pilihan Tuhannya. Disini pentingnya zero power

4 Takwa sebagai azas kepemimpinan bukan dalam arti yang sempit., yakni takwa berarti berhati-hati dan teliti. Oleh sebab itu dalam surah Al- Hasyr 18 mengenai perencanaan, Allah memulai menyeru dengan seruan” Hai orang-orang yang beriman bertakwalah”, baru dilanjutkan dengan perintah mengamati kondisi kekinian yang digunakan untuk menyusun rencana ke depan. Setelah itu ditutup dengan seruan “bertakwalah” kembali. Ini menunjukkan perencanaan dan implementasi rencana harus dengan kehati-hatian dan ketelitian dalam
mengumpulkan data, pula dalam mengimplementasikannya. Atas

5 Musyawarah, diterangkan dalam surah As-Syura:38 dan Ali Imran ayat
159.
ﺮﻣﻷا ﻰﻓ ﻢهروﺎﺷو ﻢﻬﻨﻴﺑ ىرﻮﺷ ﻢهﺮﻣا Musyawarah penting karena kepemimpinan berkaitan dengan banyak orang. Melalui musyawarah akan terbangun tradisi keterbukaan, persamaan dan persaudaraan. Perencanaan, organisasi, pengarahan dan pengawasan selalu saja terkait dengan sejumlah orang, maka keterbukaan, persamaan dan persaudaraan akan memback up lancarnya proses manajemen tersebut. Sebuah visi dan misi organisasi, akan semakin baik bilamana dibangun atas dasar musyawarah, akan semakin sempurna dan akan memperoleh dukungan luas, sense of belonging and sense of responsibility karena masyawarah sebagai bagian dari sosialisasi. Di sisi lain, musyawarah melenyapkan kediktatoran, keakuan dan arogansi yang seringkali menghambat kelancaran proses manajemen Tuhan juga mencontohkan dalam banyak firmannya yang menggunakan kata “Kami” dari pada kata “Aku”. Penggunaan kata “Kami” tersebut adalah pengakuan adanya keterlibatan pihak lain.

Musyawarah dapat memperkuat proses transformasi input menjadi output, sesuai penegasan Howard S. Gitlow, dkk (2005:3) yaitu “A process is a collection of interacting components that transform inputs into outputs toward a common aim, called a mission statement. It is the job of management to optimize the entire process toward its aim”. Mengenai prinsip-prinsip manajemen seperti kordinasi, integrasi sinkronisasi dan simplisasi, sangat mudah ditemukan, begitupula dalam berbagai praktik kepemimpinan Rasulullah SAW. Prinsip lain seperti pembagian tugas, pengawasan yang ketat, menghargai pekerjaan, pencepatan pembayaran upah selalu dijalankan oleh Rasul. Prinsip manajemen pertama yang dijalankan Rasul adalah tentang
penegasan mana yang harus diperioritaskan dan mana yang tidak. Rasul memprioritaskan pencatatan Alquran dan pelarangan pencatatan hadis supaya jangan tercampur antara ayat-ayat Alquran dan hadis. Juga menetapkan para pencatat Alquran sendiri yakni Zaid bin Tsabit dan Ali. Begitupula pada saat perangan pembebasan Mekah beliau mngorganisasikan angkatan perangnya kepada empat kelompok, yakni: Zubair bin Awwam dalam memimpin pasukan ditempatkan di sayap kiri diperintahkan memasuki Mekah dari sebelah utara, Khalid bin Walid ditempatkan pada sayap kanan, memasuki Mekah dari jurusan bawah. Saad bin Ubada supaya memasuki Mekah dari sebelah barat, sedangkan Abu Ubaida bin Jarrah diperintahkan memasuki Mekah dari bagian atas.( Haekal, 2003:460). Berkenaan dengan kepemimpinan spiritual ini, menarik uraian

A. Riawan Amin dalam buku beliau The Celestial Management, dalam mana beliau menekankan pada tiga akronim yakni ZIKR, PIKR dan MIKR. ZIKR berisikan zero base yakni memandang segala sesuatu dengan bersih, apa adanya dan bebas prasangka. Iman, memberikan kekuatan spiritual , menghilangkan rasa cemas dan takut. Konsisten, menjaga arah tujuan sampai pada titik sasaran. Result oriented, yakni menuju hasil yang murni: mardhatillah. Kemudian PIKR yaitu dimulai dengan power sharing, information sharing, knowledge sharing dan rewards sharing. Kalau ZIKR titik beratnya merangsang pribadi yang ulung, PIKR memberikan resep dan prasarat agar kru yang terhimpun dalam sebuah tim melenggangkan keunggulannya. Jika pribadi-pribadi matang yang dibentuk dari konsep ZIKR bertemu dengan sebuah tim yang solid yang terlahir dari perut PIKR, mereka akan menjadi tim unggulan (the winning team). The winning team berkaitan dengan MIKR yakni militan, intelek, kompetetif dan regeneratif. Sesungguhnya beberapa hal yang diutarakan disini barulah sedikit cuplikan dari luasnya dasar spiritual kepemimpinan yang Islami, dan inipun sekali lagi tergantung dari
(1) Sempit luasnya pemahaman pemimpin terhadap ajaran agamanya,
(2) Seberapa jauh penghayatan spiritualnya, dan
(3)Seberapa jauh konsistensi keberagamaannya,

UNSUR-UNSUR NORMATIF SPIRITUALITAS DAN GOOD GOVERNANCE
Beberapa dasar spiritualitas kepemimpinan seperti uraian terdahulu sesungguhnya akan sangat membantu dalam implementasi good governance yang saat ini sedang hangat-hangatnya kita bicarakan, karena good governance sesungguhnya lebih banyak membicarakan prilaku pemimpin, dengan penekanan pada aspek soft dimension of management. Apabila kita memperhatikan apa yang diketengahkan Menpan dengan tujuh belas pasang nilai-nilai dasar budaya kerja aparatur negara, kesemuanya merupakan nilai-nilai normatif yang sejalan dengan Islam. yaitu
1) Komitmen dan Konsisten terhadap Visi, Misi, dan Tujuan Organisasi,
2) Wewenang dan Tanggungjawab.
3) Keikhlasan dan Kejujuran
4) Integritas dan Profesionalisme/Profesionalitas.
5) Kreativitas dan Kepekaan.
6) Kepemimpinan dan Keteladanan.
7) Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja.
8) Ketepatan (Keakurasian) dan Kecepatan.
9) Rasionalitas dan Kecerdasan Emosi.
10) Keteguhan dan Ketegasan.
11) Disiplin dan Keteraturan Bekerja.
12) Keberanian dan Kearifan.
13) Dedikasi dan Loyalitas.
14) Semangat dan Motivasi.
15) Ketekunan dan Kesabaran.
16) Keadilan dan Keterbukaan.
17) Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

 

Hakikat Pemimpin
Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.

Dalam kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengerahkan dan mempengaruhi bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Pada tahap pemberian tugas pemimpin harus memberikan suara arahan dan bimbingan yang jelas, agar bawahan dalam melaksanakan tugasnya dapat dengan mudah dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.Dengan demikian kepemimpinan mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama di antara pemimpin dan anggotanya. Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan anggota dan juga dapat memberikan pengaruh, dengan kata lain para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang harus dilakukan, tetapi juga dapat mempengnaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya. Sehingga terjalin suatu hubungan sosial yang saling berinteraksi antara pemimpin dengan bawahan, yang akhirnya tejadi suatu hubungan timbal balik. Oleh sebab itu bahwa pemimpin diharapakan memiliki kemampuan dalam menjalankan kepemimpinannya, kareana apabila tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, maka tujuan yang ingin dicapai tidak akan dapat tercapai secara maksimal.

B.Tipe-Tipe Kepemimpinan

Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :1.Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.2.Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.3.TIpe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.4.Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.5.Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.6.Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung

Selanjutnya menurut Kurt Lewin yang dikutif oleh Maman Ukas mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan menjadi tiga bagian, yaitu :

1.Otokratis, pemimpin yang demikian bekerja kerang, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan yang berlaku dengan ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.

2.Demokratis, pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang pelaksanaan tujuannya. Agar setiap anggota turut serta dalam setiap kegiatan-kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usaha pencapaian tujuan yang diinginkan.

3.Laissezfaire, pemimpin yang bertipe demikian, segera setelah tujuan diterangkan pada bawahannya, untuk menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya dengan tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, semua pekerjaan itu tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya, sehingga dengan demikian dianggap cukup dapat memberikan kesempatan pada para bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.

Berdasarkan dari pendapat tersebut di atas, bahwa pada kenyataannya tipe kepemimpinan yang otokratis, demokratis, dan laissezfaire, banyak diterapkan oleh para pemimpinnya di dalam berbagai macama organisasi, yang salah satunya adalah dalam bidang pendidikan. Dengan melihat hal tersebut, maka pemimpin di bidang pendidikan diharapkan memiliki tipe kepemimpinan yang sesuai dengan harapan atau tujuan, baik itu harapan dari bawahan, atau dari atasan yang lebih tinggi, posisinya, yang pada akhirnya gaya atau tipe kepemimpinan yang dipakai oleh para pemimpin, terutama dalam bidang pendidikan benar-benar mencerminkan sebagai seorang pemimpinan yang profesiona